Mesin Waktu Baru

Nyoba lagi buat bikin mesin waktu baru. Oh iya, mesin waktu yang gue maksud emang berupa tulisan, seperti kata Kevin Anggara. Kenapa dalam bentuk tulisan?
Karena sejauh ini, banyak teori-teori yang muncul tentang mesin waktu baik itu dalam bentuk fiksi seperti Wellsian di novel H.G. Wells, yang cara kerjanya duduk di mesin, tekan tombol, kemudian pergi ke masa lalu atau masa depan.

Dan dalam bentuk teori fisika seperti Thornian, yang memanipulasi ruang-waktu untuk dapat membuat CTCs (Closed Timeline Curves).
Ya, penjelasan dan gambar di atas yang gue nggak tau maksudnya, cukup berhasil bikin gue jadi keliatan pintar. Atau lebih tepatnya berhasil bikin gue jadi keliatan pintar di pikiran gue sendiri. Hehe.
Nah, ngomongin mesin waktu dan teori-teori itu, ada satu paradoks yang sering banget muncul buat membantah konsep yang rumit tadi. Namanya “Paradoks Kakek”. Dan nggak mungkin gue kasih tau di sini, karena konsep aslinya berisi pembunuhan.
Jadi nggak mungkin gue kasih tau, jika misalnya ada orang yang namanya nggak boleh disebut, karena nggak enak sama keluarganya. Nah, misalnya si keluarga yang keluarganya nggak enakan tadi—eh apasih ribet banget— panggil aja si A. Jadi, si A ini berhasil kembali ke masa lalu, di mana kakeknya masih remaja. Terus si A membunuh kakeknya. Otomatis bapaknya si A nggak lahir. Nah, karena bapaknya nggak lahir, otomatis si A juga nggak akan lahir.
Jika si A nggak lahir, maka nggak akan ada yang membunuh kakeknya si A tadi, karena kakeknya nggak jadi dibunuh, otomatis bapak si A akan lahir dan ada. Karena bapaknya ada, maka si A juga akan lahir dan ada. Dan kalau si A ada, dia akan kembali ke masa lalu dan membunuh kakeknya. Begitu terus.
Gimana, keren pusing, kan? Kalau gue sih nggak. Nggak pusing aja, maksudnya. Jadi ya jelas, nggak mungkin gue bahas paradoks itu di sini—kan isinya pembunuhan. Eh, tapi udah dibahas ya? Duh.
Dari sekian banyak konsep rumit soal waktu tadi, akhirnya muncul satu perangkat yang lebih aman dan jauh lebih sederhana: Tulisan. Yap, tulisan yang bisa bawa kita ke masa lalu dengan cara yang jauh lebih manusiawi.
Kenapa gue bikin mesin waktu baru? Karena, sebelumnya gue udah punya mesin waktu. Tujuannya terbatas, bisa bawa gue sejauh 2.627.320 menit yang lalu.
Bayangin aja, terakhir gue nulis di sana, One Piece belum tamat. Tapi pas gue nulis tulisan ini di blog baru... One Piece tetep belum tamat sih, hehe. Intinya gitu deh, udah lama banget. Jadi sebenarnya nggak ada perkembangan signifikan di hidup gue... Eh, makasih udah nggak nanya. Beda sama Luffy, walaupun One Piece belum tamat, tapi beliau udah bisa Gear 5th cuy.
Nah ngomong-ngomong soal mesin waktu versi gue itu, baru-baru ini—yang sebenarnya nggak baru-baru amat—ada beberapa pengguna (yang sebenarnya cuma dua orang) yang ninggalin komentar di blog gue sebelumnya, gue nggak tau—yang sebenernya gue pura-pura nggak tau aja, hehe—kalau ternyata setelah blog itu lama nggak aktif, masih ada yang mampir buat baca tulisan gue.
Komentar-komentar tadi nunjukin kalau ternyata masih ada yang baca blog ini. Dan yang paling penting pastinya masih ada yang punya kemampuan membaca—kemampuan yang makin langka, karena gue yakin 70% dari mereka nggak bakal bisa baca नमस्ते, dan 2 dari 10 orang Indonesia belum bebas dari ketomb… eh, nggak ada hubungannya. Maaf. Lanjut.
Dan jujur, gue kaget. Kali ini nggak pura-pura, dan emang beneran kaget.
Bukan kaget karena ada 30% orang yang bisa baca नमस्ते. Atau karena 2 dari 10 orang Indonesia belum bebas dari ketombe. Tapi ada sesuatu yang lebih seram daripada statistik ketombe dan kemampuan baca aksara asing tadi (yang sebenernya gue cuma ngarang). Hehe.
Kaget, karena dua komentar itu kerasa kayak ada tangan yang nepuk bahu gue dengan batu gilingan. Bukan buat nyuruh lanjut, tapi buat ngingetin bahwa tulisan ini bukan nggak ada yang baca. Gue pikir blog tersebut udah nggak ada harapan—yang kalaupun dikubur, kayaknya nggak akan ada yang ziarah.
Gue kira blog itu akan stop di situ aja, jadi tempat yang gue kunjungi kalau lagi pengen nostalgia, atau kalau lagi pengen cek apakah tulisan gue dulu masih masuk akal, sepertiga sih engga. Tapi sepertiga lagi cukup berhasil—berhasil bikin gue nanya, “Ini maksud gue apa sih waktu itu?” dan sepertiga lainnya insyaAllah masih bisa... bisa gue arsipkan sebagai bukti kalo gue pernah nulis tanpa mikir panjang. Nulis sendiri, bingung sendiri.
Terima kasih ke dua orang tadi. Sambil ngelap ingus pakai sarung temen, itu tangan kiri. Tangan kanannya sambil melambai ke mereka berdua yang semakin menjauh dari pelabuhan. Eh, kok malah...
Penelitian bilang kalau, semangat seseorang untuk nulis, dipengaruhi oleh 9 faktor yang dibahas sebanyak 7 halaman di sini.
Tapi komentar kalian, cukup bikin gue jadi semangat nulis lagi? Salah. Cukup bikin gue jadi semangat bermalasan. HAHA.
Oke serius. Tapi komentar kalian, cukup bikin gue jadi semangat nulis lagi. Duh, jadi pengen ngelap ingus lagi... tapi kali ini pakai kertas amplas.
Terakhir, jangan sia-siain waktu ya. Kalau kata Imam Al-Ghazali, yang paling jauh itu masa lalu. Karena kita nggak akan pernah beneran sampai ke sana.
Semoga ketemu di tulisan lainnya. Semoga:)
Yang Komen (5)
Login dengan Google untuk ikut ngomenin tulisan ini.